![]() |
Foto: Johan |
Suatu waktu saya
bergabung dalam suatu komunitas, sebut saja "komunitas pemikir". Dari
sekian banyak anggota komunitas, yang pasti beragam pula cara pandangnya. Topik
pokok dalam ruang-ruang diskusi kami tidak meleset jauh dari soal hidup. Dalam
hal menalar dari yang apatis sampai yang radikal tergabung disana.
Suatu malam
terjadi perdebatan di salah satu warung kopi, tempat yang sudah menjadi titik kumpul
untuk kami mengolah rasa. Ruang semacam itu kami istilahkan "segelas kopi,
sebatang rokok dan segudang masalah". Karena memang selalu ditemani oleh
dua material itu dalam beradu cara pandang.
Tema malam itu
adalah kehidupan, kami di buka oleh satu gagasan dari seorang sahabat, dengan
mendasarkan pada doktrin Katolik, bahwa hukum tertinggi dalam hidup adalah
Hukum Cinta Kasih. Lalu di sambung dengan sahabat yang lain menurutnya hukum
tertinggi adalah hukum pertentangan/atau dalam ilmu fisika aksi-reaksi. Hukum
inilah yang menjadi adanya kehidupan, tegasnya. Dua sudut pandang yang
didasarkan daripada dua litalatur yang bertentangan menjadikan diskusi kami tak
ada kesimpulan.
Di waktu yang lain
setelah adu nalar ini, saya bertemu seorang sahabat bersama saudara
sekampungnya. Saudaranya ini seorang Frater (Seorang laki-laki yang sedang
menempuh pendidikan formal dan bisa menjadi pastor atau romo dalam gereja
Katolik) dengan membawa sebuah buku, judulnya "Menjadi Mencintai".
Memang niatnya promosi dan saya tertarik atas strategi marketingnya rela
mengeluarkan uang kiriman biaya kuliah demi masa depan isi kepala.
Karena tuntutan
perdebatan soal hukum hidup, saya pun langsung melahap buku itu segera. Hampir
tiga minggu saya memakannya, bahkan karena banyaknya kalimat-kalimat filosif
didalamnya saya terpaksa menguyah berkali-kali. Dari dalam buku itu saya mendapatkan bahwa hidup atau kehidupan adalah
soal "ADA dan meng-ADA-kan". Maksudnya? Sayapun masih terus begelut
menemukan literatur, memakan, mengunyah dan mengolahnya sampai saat ini.
#Next
Tidak ada komentar:
Posting Komentar