Jumat, 18 Oktober 2019

Ingatan (I)

Keterangan foto tidak tersedia.
Foto: Johan
Suatu waktu saya bergabung dalam suatu komunitas, sebut saja "komunitas pemikir". Dari sekian banyak anggota komunitas, yang pasti beragam pula cara pandangnya. Topik pokok dalam ruang-ruang diskusi kami tidak meleset jauh dari soal hidup. Dalam hal menalar dari yang apatis sampai yang radikal tergabung disana.

Suatu malam terjadi perdebatan di salah satu warung kopi, tempat yang sudah menjadi titik kumpul untuk kami mengolah rasa. Ruang semacam itu kami istilahkan "segelas kopi, sebatang rokok dan segudang masalah". Karena memang selalu ditemani oleh dua material itu dalam beradu cara pandang. 

Tema malam itu adalah kehidupan, kami di buka oleh satu gagasan dari seorang sahabat, dengan mendasarkan pada doktrin Katolik, bahwa hukum tertinggi dalam hidup adalah Hukum Cinta Kasih. Lalu di sambung dengan sahabat yang lain menurutnya hukum tertinggi adalah hukum pertentangan/atau dalam ilmu fisika aksi-reaksi. Hukum inilah yang menjadi adanya kehidupan, tegasnya. Dua sudut pandang yang didasarkan daripada dua litalatur yang bertentangan menjadikan diskusi kami tak ada kesimpulan.

Di waktu yang lain setelah adu nalar ini, saya bertemu seorang sahabat bersama saudara sekampungnya. Saudaranya ini seorang Frater (Seorang laki-laki yang sedang menempuh pendidikan formal dan bisa menjadi pastor atau romo dalam gereja Katolik) dengan membawa sebuah buku, judulnya "Menjadi Mencintai". Memang niatnya promosi dan saya tertarik atas strategi marketingnya rela mengeluarkan uang kiriman biaya kuliah demi masa depan isi kepala. 

Karena tuntutan perdebatan soal hukum hidup, saya pun langsung melahap buku itu segera. Hampir tiga minggu saya memakannya, bahkan karena banyaknya kalimat-kalimat filosif didalamnya saya terpaksa menguyah berkali-kali. Dari dalam buku itu saya mendapatkan bahwa hidup atau kehidupan adalah soal "ADA dan meng-ADA-kan". Maksudnya? Sayapun masih terus begelut menemukan literatur, memakan, mengunyah dan mengolahnya sampai saat ini.

#Next
Foto: Memantau matahari pergi disuatu waktu

Foto: sepatu bekas milik pribadi

bersama capung merah
Foto:bersama bung capung merah

Dikenang Walau Tak Kenal

Adalah seorang tokoh, tokoh asal Desa Labolewa Kabupaten Nagekeo NTT. Namanya sudah saya kenal waktu saya masih kecil bahwa beliau adalah tokoh yang berdomisili di Ibu Kota Republik. Walau saya tidak mengenal dekat bahkan belum pernah bertemu tapi belau adalah salah satu orang yang menjadi motivasi saya untuk merantau ke pulau Jawa. Saya sangat ingin bertemu dengan beliau. Hanya sekedar ingin bertanya soal-soal prinsip dan pengalaman perjuangan hidup. Namun alam semesta tidak berpihak pada kami, bahkan apa pekerjaan beliu saya baru tau saat beliau sudah berpulang kerumah bapak.

BAKIN/BIN adalah satu-satu badan Intelejen yang bertugas menjaga Keutuhan Republik dan ternyata Beliau ada disana. Profesi yang membutuhkan ketekunan, keuletan. Bekerja dalam diam, bergerak senyap dan tidak sembarang orang bisa ada disana.
Beliau pulang di usia 74 tahun lebih satu hari dengan tanggal lahir dan perayaan Hari Proklamir Kemerdekaan Republik.



Gambar mungkin berisi: 1 orang, pakaian
Foto Almarhum

RIP : Matheus Dhae Deru
*17 Agustus 1945
+18 Agustus 2019


Selamat jalan ka,e.
Jalan dalam damai.
Tuntunlah kami generasi Labolewa dari Alam-Mu.

Negara Bangsa dan Perang Korupsi

Menulis tentang korupsi adalah sesuatu yang sulit dan sangat menguras pikiran, mengapa demikian? Korupsi saat ini sudah mejadi budaya. Suatu prilaku yang di anggap wajar sebab tidak ada cara lain untuk menjadi kaya dalam Negara bangsa yang sudah menganut sistem demokrasi. Demokrasi yang dalam pengertiaan masih ambigu, satu sisi demokrasi pancasila/demokrasi rakyat, pada sisi lain demokrasi yang di anut adalah demokrasi liberal (asas kebebasan bukan kesetaraan).  Inilah yang membuat para pembuat dan penegak kebijakan menjadi kaku bahkan bingung mengambil keputusan. Pada kasus tertentu menindak sesuai hukum, pada kasus lain hukum melanggar hak asasi(jika koruptor di hokum mati). Dan akhirnya para koruptor di beri komisi, publik akan menilai bahkan mengikuti dengan asumsi bahwa tidak masalah korupsi, kalaupun di hukum akan akan bebas juga.
Sebagai orang muda awan yang hidup dalam dalam kemasyarakatan Negara Bangsa Indonesia ini, penulis ingin mengeneralisasi korupsi dalam dua sudut pandang. Pertama sudut pandang falsafah dan kehidupan yaitu yang kuat akan mengalahkan lemah. Manusia sebagai salah satu makluk hidup yang di ciptakan Tuhan yang maha esa, yang dengan kelebihan akalnya menjadi lebih unggul dari makluk hidup lain(teori evolusi). Seperti yang kita ketahui bahwa hukum hidup adalah makan, mau makan harus kerja, tidak kerja tidak makan, tidak makan pasti mati. Demi mempertahan hidupnya dalam kerja manusia harus bersaing, yang kuat bertahan yang lemah akan mati(inilah bentuknya sistem liberalisasi). Menjadikan manusia rakus dan serakah, saling membunuh dan menikam, mempertahankan hidup akhirnya yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin dan yang ingin menjadi kaya jalan pintasnya adalah menempuh jalan korupsi uang Negara (uang rakyat) sebagai solusi.
Kedua sudut pandang sejarah kemasyarakatan, dari kemasyarakatan manusia primitive hingga yang modern saat ini dalam riwayatnya, kita di kasihtau bahwa yang kuat mengalahkan yang lemah dan yang maju mengalahkan yang berkembang. Zaman kolonial kita masih sebagai bangsa yang di dalamnya terdiri dari berbagai suku bangsa di perbudak oleh bangsa yang kuat(yang dengan kesombongan mereka mengklain mereka bangsa maju), kita mudah di adu domba demi mendapatkan material untuk kehidupan bangsa mereka. Dan pada akhir abad ke 19 memasuki abad 20, sebagai bansa kita bangkit karena sadar bahwa kita bukan bangsa lemah, bangun dari tidur berkepanjangan selama 350 tahun membuktikan diri bahwa kita kuat dan mampu, yang akhirnya 17 agustus 1945 Negara Bangsa Indonesia di Proklamirkan. Apa sebab ini terjadi? Ini terjadi kerena pendidikan.
Sejak berdirinya Negara ini dan rezim berganti rezim, mulai orde baru embrio menjajah bangsa sendiri (KKN) mulai bermetamorfosis. Reformasi muncul menawarkan solusi, tetapi jalan buntu selalu di temui. Hal ini harus di lihat bahwa orde baru sebagai sebuah sistem yang sampai saat ini masih ada pewaris. Zaman berganti waktu berlalu, akhirnya kitapun berpikir dan terus berpikir, berjuang dan dan terus berjuang dalam memerangi korupsi(rakuserakah). Berbagi lembaga di bentuk dalam menyikapi persoalan ini, namun pertanyaan apa, siapa, kapan, mengapa dan bagamana selalu muncul dalam akal pikiran demi menyelasaikan budaya yang sangat tidak manusiawi ini? Dalam menjawab pertanyaan ini penulis mencoba menjabarkan satu per satu.
Apa sebab budaya korupsi semakin menghegemoni atau dalam bahasa lain penyakit korupsi semakin membias? Jawabannya adalah mental, mental yang di tanamkan kepada generasi mengedepankan materi daripada kemanusian. Uang menjadi Tuhan yang akhirnya baik politik maupun ideologi menjadi komoditi, Tuhan pun di jadikan komoditi dalam pemenuhan kebutuhan materi. Siapa yang melakukan ini, jawabannya adalah manusia-manusia yang menTuhankan Materi. Kapan situasi ini terjadi, dalam pemgantar sudah penulis sampaikan bahwa soal korupsi di Republik ini berembrio sejak Zaman Orde Baru(orde baru yang di maksudkan adalah sistem). Mengapa? Ini karena sistem, sebagai kaum terdidik kita harus jujur bahwa runtuhnya orde lama adalah kemasan asing. Asing penganut sistem liberal, memakai beberapa anak Negri sebagai pemain inti jalannya operasi pembodohan secara masif. Di awal penulis sampaikan bahwa bangkit dan berdirinya Negara ini adalah karena pendidikan, begitupula hancur dan leburnya Negara ini juga karena pendidikan, pendidikan yang tidak memanusiakan manusia. Selagi UU privatisasi pendidikan Indonesia masih berlaku, maka sia-sia berjuang dan berpikir soal pemberantasan Korupsi, sebab manusia di didik menjadi budak, budaknya mereka yang kaya atau budaknya uang (materi). Bagaimana menyikapi persoalan ini ada beberapa hal, pertama untuk situasi aktual (korupsi yang terjadi saat ini), perketat sistem pengawasan, kawal tuntas setiap kasus korupsi. Korupsi yang terjadi saat ini menurut pengamat penulis semacam satu ikatan rantai, saling kait mengkait yang kalau di telusuri semua birokrat adalah pelaku. Inilah kemasan liberalisme dan kapitalisme, menjerat semua politisi demi mengamankan agenda penjajahan baru. Bagi penulis, yang berkuasa di negri ini bukanlah pemerintah tetapi pemodal dan korporatnya. Mengatur jalannya sistem yang sesuai kepentingan mereka dalam menumpukan materi (kekayaan). Rakyat di adu domba dengan pemerintah timbulah konflik vertikal, konflik horizontal di ciptakan jikalau pemerintah tidak mematuhi mereka (para komprador nasional kawin asing). Inilah riilnya situasi bangsa dan korupsi salah satu agenda adu domba. Membangun Negara butuh modal dan pemodal, tetapi pemodal haruslah yang bervisi Kebangsaan. Solusi konkrit Koruptor di Hukum mati, sehingga efek ada jera,  kalaupun kita katakan berbenturan dengan hak asasi manusia (HAM), Bukannya HAM itu produk Asing? Produk Penjajah? Negara ini sudah ada yang namanya HAM yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (sila ke 5 Pancasila)
Untuk solusi jangka panjang masyarakat harus di bangkitkan kesadarannya, begitu banyak orang maupun kelompok yang berani dan peduli akan penyakit kronis ini. Maka sebagai generasi baru bangsa, sebagai agen perubahan pemimpin masa depan, dengan cara sendiri atau bersama, masuklah dan terlibatlah dalam arus massa rakyat, kerja dan hidup bersama mereka, berilah ilmu pengetahuan kepada mereka. Terlibat langsung adalah solusi akhir, tetapi sekali-sekali jangan bawa embel-embel politik praktis, sebab itu sangat sensitif yang akhirnya korupsi tetap jadi ahli waris. Sebagai organisasi yang visinya adalah memerangi korupsi misinya harus di perjelas. Korupsi disaat inikah atau masa depan depankah yang mau di perangi? Targetnya harus masa depan, sebab yang saat ini seharunya di perangi di masalalu. Dalam visi masa depan, pendidikan harus turun ke bawah-masuk dalam sel-sel inti masa rakyat. Solusi konkrit soal sistem pendidikan, pendidikan Indonesia kembali seperti yang di tuliskan bapak pendidikan kita dalam buku pertamanya, disana kita akan temukan bahwa anak didik bukan hanya kecerdasan otak dan emosional yang di tumbuhkan tetapi juga kecerdasan spiritualnya. Kembalikan spirit Negara Bangsa Indonesia sesuai amanat UUD 1945 dan Pancasila sebagai Falsafah hidup bermasyarakat.
Sekian dan semoga bermanfaat.
Slogan penulis tentang anti korupsi “ HIDUP HANYA CUKUP MAKAN, CUKUP PAKAIAN DAN TEMPAT TINGGAL, ITU SUDAH CUKUP” sebab jikalau hidup ingin punya segalanya maka harus menimbun uang(kekayaan) atau kalau mau kaya harus berani menabrak hukum (KORUPSI), kalau demikian maka akan ada yang miskin dan semakin miskin.
Juli 2017
Johan Jera